Jumat, September 11, 2009

JARAK MRAJAK JATI MATI

MENURUT Indonesianis Ben Anderson, orang Jawa memahami konsep kekuasaan secara tradisional. Kekuasaan tidaklah mutlak merupakan hasil dari sebuah usaha‑usaha rasional dalam ranah hubungan antar manusia. Kekuasaan lebih merupakan sesuatu yang given, sebuah pemberian atau anugerah dari Tuhan kepada orang -orang yang pinilih. Makanya dalam tradisi Jawa sering kita dengar istilah pemimpin karismatik, seseorang yang memiliki karisma kepemimpinan.
Karisma adalah semacam anugerah ilahiah, sehingga dipahami bahwa ada seseorang yang, terlepas dari proses rasional perjalanan hidupnya, memang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin, penguasa, suatu kaum (rakyat).
Dalam kisah-kisah pewayangan dan kethoprak, penggambaran konsep kekuasaan Jawa ini cukup kentara, yakni adanya wacana-wacana seperti wahyu keprabon, pulung keprabon, wahyu senapati, dan semacamnya. Konsep kekuasaan sebagai sesuatu yang given tersirat, misalnya, melalui simbolisme tertentu. Ada peribahasa Jawa, misalnya, yang berbunyi: Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati.
Kayu jati konon dipahami adalah rajanya pohon. Sebab, jati adalah pohon yang migunani dari segala elemennya: batang pohonnya, daunnya, tunggak dan akarnya. Yang terpenting lagi, jati adalah abadi, karena kayu jati awet dan tahan lama meski melewati usia puluhan bahkan ratusan tahun. Menimbang sisi fungsional serta karakternya yang "sempurna" itu, jati oleh orang Jawa dijadikan simbol dari seseorang yang punya karisma, terutama karisma kepemimpinan. Kebalikan dari simbolisme jati adalah jarak. Kayu atau pohon jarak adalah dari jenis yang biasa, setidaknya dibanding jati. Jika level jati adalah rajanya kayu, maka jarak berada di level bawah (meski bukan berarti paling bawah). Mungkin tepatnya jarak adalah salah satu kayu dari jenis grass root dalam keluarga pohon-pohonan. Analogi yang paling gampang kira-kira seperti itu. Taraf kegunaan pohon jarak dalam tradisi masyarakat Jawa tak lebih sekadar petanda batas tanah atau pekarangan. Kayu jarak tidak mungkin dijadikan kursi, pintu, atau sebagai saka guru seperti halnya kayu jati. Makanya disebut pohon jarak, karena ia sebatas berhubungan dengan batas (jarak) tanah atau pekarangan. Kayu jarak untuk menandakan trah jelata, orang biasa, rakyat awam pada umumnya.
"Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati" adalah semacam satir untuk mengilustrasikan suatu keadaan di mana kekuasaan dipegang bukan oleh orang yang memiliki karisma kepemimpinan, seseorang yang, katakanlah, memiliki wahyu keprabon. Sebaliknya, kekuasaan malah dipegang oleh pemimpin gadungan, pemimpin dari kalangan biasa, rakyat jelata, yang sama sekali tidak memiliki karisma kepemimpinan. "Tunggak jarak mrajak," artinya di masyarakat banyak bermunculan pemimpin gadungan tadi, yang tidak punya karisma atau aura kepemimpinan. Sedangkan "tunggak jati mati", artinya bahwa orang-orang yang berkarisma, yang memiliki aura kepemimpinan, malah tenggelam, tersingkir, tidak menampakkan diri di tengah masyarakat (mati).
Dalam konteks demokrasi modern, konsep kejawen seperti itu sudah lama diabaikan, atau malah dicampakkan sama sekali. Selain tidak rasional, konsep seperti itu juga tidak punya bobot ilmiah. Tidak ada ukuran atau parameter yang obyektif untuk menyatakan bahwa seseorang ketiban wahyu, memiliki karisma dan aura kepemimpinan, kecuali berdasarkan dugaan ataupun klaim subyektif yang bersifat sepihak. Sebaliknya, demokrasi mengandaikan suatu kepemimpinan, kekuasaan, yang dicapai melalui usaha-usaha yang rasional dalam konteks hubungan antar manusia, berdasarkan semacam "kontrak sosial".
Jika semua orang, melalui mekanisme musyawarah kolektif, bersepakat menjadikan seseorang menjadi pemimpin, penguasa, maka jadilah ia, kun fayakun, tanpa peduli apakah ia punya karisma atau tidak, dari jenis jarak ataukah jati. Kehendak Tuhan tidak terwujud melalui wahyu, pulung, karisma, aura, tetapi melalui kehendak rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan.Dalam sudut pandang demokrasi pula, legitimasi seorang pemimpin lebih dikaitkan dengan makna (signifikansi) dan fungsi dari kedudukannya bagi sebesar-besar kepentingan rakyat. Sebab, sebenarnya sang pemilik sejati kedaulatan adalah rakyat belaka.
Pemimpin tidak lebih sekadar pemegang amanat kedaulatan tersebut, yang harus mengelolanya sedemikian hingga sesuai kehendak rakyat banyak. Jika dalam kepemimpinannya kepentingan rakyat justru diabaikan, hak-hak dasariahnya dipinggirkan, maka rakyat punya alasan kuat untuk mengkritik sang pemimpin, mengingatkannya, bahkan menuntutnya meletakkan jabatan jika perlu, tanpa harus menunggu periode kekuasaannya berakhir.
Andaikan peribahasa itu, "tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati", masih bisa kita aktualisasikan, yang paling mungkin adalah memaknainya secara substansial dan membagankannya dalam wawasan demokrasi. Jarak dan jati harus dikaitkan dengan salah satu prinsip demokrasi: untuk rakyat, artinya untuk kepentingan rakyat. Tunggak jarak mrajak," artinya di masyarakat banyak bermunculan, tumbuh, mrajak, pemimpin yang tidak aspiratif terhadap kepentingan masyarakat, meskipun mereka legitimatif (dipilih oleh masyarakat). Sebaliknya, tunggak jati mati, artinya pemimpin atau orang dengan integritas moral yang bagus, memiliki keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat, justru tenggelam, tersingkir, atau bahkan tidak bisa tampil sama sekali (karena tidak punya legitimasi dari publik) alias mati. Dari sudut pandang rakyat, tunggak jarak idealnya mati (saja), dan yang mrajak adalah tunggak jati. Sebab, jika tunggak jarak mrajak, tidak peduli dalam masyarakat tradisional atau modern, tidak peduli berpaham demokrasi atau yang lain, maka dampaknya sama saja: kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Wallahu a'lam. ***

1 komentar:

  1. Lebih lengkapnya adalah:
    Walaupun tunggak jarak mrajak..toh pd akhirnya mati krn unur pendek atau kering di musim kemarau, sedangkan jati dipotong jadi Tunggak, pdhl hanya mati sementara waktu, pada akhirnya tibaa waktunya akan trubus tunas baru yg akan tumbuh terus walaupun di musim kemarau. Tumbuh lurus ke atas.

    Jadi fenomena saat ini baru taraf tunggak jarak mrajak, nanti akan digantikan pemimpin yg sejati pada waktunya sesuai kehendak Tuhan.

    BalasHapus